top of page

Perempuan dan Bahasanya

Di antara semua karakter klasik kartun putri Disney, tokoh Mulan adalah satu-satunya karakter princess yang aku rasa layak mendapatkan kehormatan sebagai 'panutan' masa kecil. I'm sorry to say, tapi karakter princess lain seperti Snow White, Sleeping Beauty, Cinderella, Jasmine, dan lainnya adalah putri-putri bodoh yang bahkan tidak mengerti tentang memperjuangkan keselamatan diri sendiri dan martabat mereka sebagai perempuan.


Mungkin memang ada unsur kesengajaan dari Disney dan Pixar untuk melanggengkan perempuan sebagai karakter yang penuh dengan kebodohan sehingga harus diselamatkan oleh pria-pria tampan. Tak disangka pula bahkan sampai saat ini pun masih saja banyak orang yang menginginkan kehidupan dongeng ala Cinderella yang dijemput oleh seorang pangeran.


Tak bisa dipungkiri, visualisasi ini memang banyak menarik perhatian anak-anak perempuan di masa kini, tak terkecuali anak perempuanku. Namun selalu ku katakan padanya, jika kelak kamu ingin menjadi seorang putri, jangan jadi putri yang idiot seperti Snow White atau Jasmine. Jadilah seorang putri seperti Elizabeth I yang pada akhirnya menjadi ratu dan monarki terhebat sepanjang sejarah.


Kembali lagi pada karakter Mulan yang digambarkan sebagai perempuan pendobrak tradisi pada masa itu dengan menyamar sebagai lelaki dan menjadi prajurit untuk menggantikan ayahnya yang sudah tua dalam mengikuti pertempuran mempertahankan negara.


Layaknya tipikal cerita masyarakat patriarki pada umumnya, tugas perempuan dikonstruksikan sebagai manusia yang harus bersolek untuk memikat jodoh potensial dan menikah, kemudian melahirkan banyak anak (terutama anak laki-laki). Dengan demikian dia telah memberikan kehormatan pada keluarganya. Sedangkan laki-laki mengerjakan pekerjaan tangguh seperti pergi berperang, menjadi pemimpin dalam banyak aspek lainnya.


Mulan adalah satu-satunya perempuan di tengah masyarakatnya yang lebih menyukai seni bela diri ketimbang bersolek untuk menarik perhatian kaum adam. Maka Mulan dianggap sebagai perempuan yang memalukan nama keluarga dan kaumnya, terlebih ketika dia kabur untuk menggantikan ayahnya berperang. Ketika kebohongan Mulan sebagai perempuan terbongkar, dia tidak lagi mendapat tempat dalam keprajuritan. Hingga akhirnya dia berhasil membuktikan dirinya memiliki tekad dan kemampuan setara dengan banyak prajurit laki-laki karena telah menyelamatkan Kaisar Cina.


Sepintas karakter Mulan digambarkan sebagai perempuan yang tangguh dan hebat dengan cara ikut berperang dan mengangkat senjata, suatu hal yang jamak dilakukan laki-laki sebagai simbol keperkasaan dan maskulinitas. Maka imajinasi masa kecil ini pun ingin pula menjadi seorang perempuan pemberani yang ahli bela diri.


Kemudian setelah mengkhatamkan epik Mahabharata, hati ini ikut pula mengagumi sosok Srikandi, karakter dalam mitologi Hindu yang merupakan seorang pemanah perempuan tangguh. Lagi-lagi karakter perempuan yang berperang lah yang menjadi gagasan dalam pikiran tentang keberanian dan ketangguhan seorang perempuan. Hal ini pun diamini oleh masyarakat dengan menyebutkan tokoh-tokoh perempuan hebat sebagai Srikandi Indonesia.


Tiba-tiba saja aku terpikirkan tentang karakter perempuan lainnya dalam mitologi Hindu, karakter Drupadi misalnya. Apakah Drupadi tidak pantas diasosiasikan sebagai perempuan tangguh hanya karena dia tidak mengangkat senjata? Apakah air mata dan kemarahannya sebagai perempuan tidak dipandang sebagai kekuatan? Justru air mata dan kemarahan Drupadi adalah alasan pecahnya Perang Kurukshetra karena Drupadi menuntut para Pandawa yang tak bertanggung jawab itu untuk merasakan penderitaan akibat dirinya yang telah dilecehkan secara tidak hormat sebagai perempuan.


Atau mungkin air mata dan kemarahan Drupadi dipandang hanya sebagai penyebab huru-hara yang mampu memusnahkan sebuah legasi? Sehingga banyak sekali muncul memes dan candaan seksis yang menghimbau para lelaki untuk tidak membiarkan pacar atau istrinya menangis dan marah dengan alasan lunturnya makeup yang mahal dan tidak akan mendapat kepuasan bercinta.

Salah satu meme seksis yang merendahkan perempuan yang cenderung meluapkan emosinya dengan menangis.

Jika memang demikian, kodrat dan hakikat yang melekat pada diri perempuan telah mengalami pengerdilan dan reduksi makna. Maka bahasa dan tindak-tanduk perempuan hanya akan dipandang sebagai kelemahan atau penyebab kelumpuhan.


Berbicara Bahasa Lelaki Agar Didengar?

Dengan membandingan karakter Srikandi dan Drupadi, tampaklah jika Srikandi dinobatkan sebagai perwujudan ketangguhan perempuan, sebab Srikandi 'berbicara' dengan bahasa pria (yakni bela diri, peperangan, olah senjata) yang menjadi perlambang kegagahan dan kekuatan laki-laki.


Perempuan baru dianggap setara jika 'bahasa' yang mereka pakai adalah bahasa laki-laki, atau yang bisa diterima oleh laki-laki. Jika perempuan tidak mampu berbicara dengan bahasa yang disepakati oleh laki-laki, maka lebih baik perempuan diam dan tak usah menonjolkan dirinya di hadapan publik (Cheris Kramarae, The Muted Theory, 1981).


Hormon selalu dipandang sebagai penyebab perbedaan bahasa antara perempuan dan laki-laki. Testosteron dianggap menjadikan pria mampu berpikir dan berbicara lebih rasional, sedangkan progesteron dan estrogen menyebabkan perempuan lebih mengedepankan perasaan emosional.


Padahal hakikatnya memang manusia adalah mahluk yang dikendalikan oleh hormon. Pengambilan keputusan finansial yang menyebabkan krisis ekonomi global pada 2008 silam disebabkan oleh melambungnya kadar testosteron untuk mengambil resiko ekonomi. Tak ada bedanya dengan perempuan yang juga cenderung mengambil resiko dan agresif saat sedang mengalami premenstrual syndrome/PMS (Katrine Marcal, Who Cooked Adam Smith's Dinner?, 2012).


'Bahasa' Perempuan Menghasilkan Kebaikan

Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia, negara-negara yang dipimpin oleh perempuan dinobatkan sebagai negara dengan penanganan virus terbaik di antara 194 negara.


'Bahasa' empati terhadap kehidupan yang dimiliki perempuan terbukti telah membawa kebaikan bagi banyak orang ketimbang 'bahasa' lelaki yang mengutamakan rasionalitas ekonomi sehingga menyebabkan lebih banyak orang terinfeksi virus Corona. Selain itu, 'bahasa' perempuan yang responsif membuat para pemimpin perempuan lebih proaktif terhadap perkembangan data saintifik dalam pengambilan keputusan ketimbang 'bahasa' pemimpin lelaki yang sibuk membangun kebenaran alternatif.


Maka pada Hari Perempuan Internasional tahun ini, perempuan tak perlu lagi takut untuk melawan ketidakadilan dan prasangka gender dengan bahasa cinta, air mata, empati, kasih sayang, dan lainnya. Bahasa-bahasa tersebut selama ini dipersonifikasi lewat gambaran putri-putri cantik nan idiot ala Sleeping Beauty. Namun sekarang, bahasa perempuan adalah senjata yang mampu membangkitkan perlawanan yang dapat mengubah kemapanan sistem dalam menegakkan kehormatan dan martabat perempuan.


#MeToo adalah suatu bentuk bahasa perempuan yang mengandung empati, air mata, dan cinta yang dikumandangkan di media sosial hingga akhirnya menjadi sebuah gerakan civil society yang berhasil menghukum para penjahat kelamin. Bahasa ini telah memberikan keberanian dan penegakan keadilan pada semua perempuan di dunia yang menjadi korban pelecehan hingga kekerasan seksual, hingga kejahatan seksual saat ini telah dianggap sebagai extraordinary crime.


Apa yang terjadi pada Drupadi pun merupakan pelecehan seksual yang layak dibayar dengan Bharatayudha. Seperti itulah hasil dari kekuatan 'bahasa' perempuan yang bisa melenyapkan hampir seluruh generasi sebuah dinasti, dan Drupadi selalu menjadi tokoh sentral dalam sejarah dan epik Mahabharata.


Maka jangan takut untuk bersuara dan menyampaikan pendapat dengan bahasa perempuan. Bicaralah dan lawan ketidakadilan!



So, I #ChooseToChallenge gender bias and equality through language and words. Happy International Women's Day.



Love,

Elle Zahra

69 views0 comments
bottom of page