Pendidikan Seks Dalam Ruang Kelas
Kala Penulis masih remaja, topik sistem reproduksi yang diajarkan dalam mata pelajaran biologi selalu memunculkan ‘kegemparan’ tersendiri. Murid-murid lelaki tertawa cekikikan sembari mata mereka menjadi membulat. Sedang murid-murid perempuan tersenyum sambil tertunduk malu-malu. Saat sang guru menyebutkan kata-kata sakti seperti penis, vagina, sperma, dan penetrasi seksual, sontak sekelas menjadi riuh dan cukup gaduh.
Entah bagaimana yang terjadi dalam ruang kelas di era Web 3.0 saat ini. Apakah ekspresi murid lelaki masih terlihat begitu antusias, sedangkan murid perempuan merasa risih saat harus menyebutkan kata penis dan vagina secara gamblang meski kata itu merupakan penyebutan ilmiah.
Namun dalam beberapa laporan jurnalistik yang Penulis baca, situasi ruang kelas hari ini tak jauh berbeda dengan zaman Penulis dulu. Seksualitas masih menjadi topik yang tabu, mengandung sentimen sensualitas, dan imoral untuk dibicarakan sebelum memasuki kehidupan pernikahan.
Membicarakan seks kerap dipandang dari kacamata moral, sehingga seks didefinisikan secara sempit sebagai sebuah hubungan suami-istri. Maksudnya, penetrasi penis ke dalam vagina hanya boleh dilakukan setelah ikatan pernikahan diresmikan. Jika aktivitas ini dilakukan sebelum sah menikah, artinya adalah pelanggaran norma sosial karena telah melakukan hubungan seks bebas.
Itulah mengapa terasa sangat sulit membicarakan seks di ruang publik, sebab topik ini dianggap hanya untuk diperbincangkan di ranah pribadi dan hanya boleh dilakukan setelah menikah. Padahal dalam kehidupan nyata, seks justru sering terjadi di ruang publik dalam bentuk pelecehan dan tindak kekerasan.
Pentingnya Seks Diajarkan di Ruang Pendidikan
Menghadirkan pendidikan seks dalam ruang kelas pendidikan dasar (dari jenjang Sekolah Dasar/SD hingga Sekolah Menengah Atas/SMA) selalu memunculkan perdebatan sengit di kalangan orang tua. Sekali lagi alasannya karena seks hanya dilihat dari sudut pandang moralitas yang dianggap ‘menginspirasi’ generasi muda untuk melakukan seks bebas.
Sayangnya jarang sekali orang tua yang berpikir jika pendidikan seks justru merupakan tameng bagi anak-anaknya agar mengerti tentang tubuh dan organ seksual mereka, sehingga anak bisa melindungi diri ketika ada pihak-pihak yang berusaha melecehkan mereka secara seksual.
Di tahun 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat sebanyak 207 kasus kekerasan seksual pada anak terjadi di sekolah, dan 126 di antaranya merupakan siswi perempuan. Banyak dari mereka yang tidak mengerti bahwa mereka sedang dilecehkan. Sehingga ketika oknum yang melecehkan anak (mayoritas justru merupakan tenaga pendidik) ‘mengancam’ tidak akan memberi nilai yang bagus, anak cenderung menuruti si pelaku pelecehan seksual.[1]
Bukan hanya terjadi dalam institusi pendidikan, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak juga terjadi di ruang keluarga. Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan 2021 melansir, kasus inses (pelecehan dan/atau pemerkosaan anak yang dilakukan oleh anggota keluarga seperti ayah kandung, paman, saudara lelaki) sudah muncul sejak tahun 2016 meski jumlahnya cenderung naik turun.
Padahal sebelum 2016, kasus inses tidak pernah ada dalam laporan. Kasus inses merupakan tindak kekerasan seksual yang sangat berat, sebab korban tidak berdaya ketika berhadapan dengan ayah kandung atau anggota keluarganya sendiri. Selain itu korban pun merasa bingung harus bercerita pada siapa, sehingga seringkali korban kasus inses memilih diam.
Penyebab ketidakberdayaan korban (terutama anak-anak) dalam melindungi dirinya dari pelecehan dan kejahatan seksual, salah satunya adalah ketidaktahuan mereka tentang pentingnya melindungi organ reproduksi dari bahaya pemaksaan tindakan seksual, termasuk pemaksaan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti anggota keluarga maupun guru.
Banyak anak yang tidak mengerti ketika bagian tubuh tertentu mereka diraba, atau mengalami pedih akibat pemaksaan penetrasi ke liang organ seksual. Yang mampu mereka deskripsikan adalah mereka mengalami sakit hebat dan pedih saat buang air kecil. Sebagian anak mengalami perubahan perilaku dengan takut melihat wajah orang yang telah melecehkan mereka.
Disebabkan oleh pemikiran kolot dan primitif tentang definisi seks, apakah rela membiarkan anak-anak di masa depan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual karena mereka bahkan tidak tahu bahwa mereka sedang dilecehkan?
Mengajarkan Pendidikan Seks yang Benar
Apa yang disebut sebagai pendidikan seks di sekolah hari ini ternyata masih sangat jauh dari pendidikan seks yang sebenarnya. “Pendidikan seks” yang diajarkan di sekolah nyatanya cuma seputar topik kesehatan organ reproduksi yang disertai “ancaman” dosa neraka ketika melakukan seks di luar nikah, serta bahaya tertular penyakit seksual seperti HIV/AIDS bila berhubungan seks bebas.[2]
Pemerintah terlihat masih takut untuk memasukkan pendidikan seks sebagai kurikulum formal karena tergiring oleh opini publik yang menjadikan isu seks sebagai isu moral, dan bukan upaya sebagai perlindungan terhadap anak-anak dari tindakan kejahatan seksual.[3]
Faktor demografis Indonesia yang mayoritas beragama Islam juga turut menjadikan mandeknya pengajaran seks untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal, sebab topik tentang seks dianggap sebagai sesuatu yang sensual, eksplisit, dan memunculkan gairah birahi terlarang yang tidak diperbolehkan dalam agama apabila belum menikah.
Sementara itu, pendidikan seks pada dasarnya bukan perkara kesehatan reproduksi, melainkan soal consent (persetujuan/izin) untuk melakukan aktivitas seksual. Pemikiran kolot dan sok bermoral tersebut hanya mendefinisikan aktivitas seksual sebagai sexual intercourse/penetrasi seksual. Aktivitas seksual lebih luas dan tak terbatas hanya pada penetrasi penis ke dalam vagina. Berciuman, masturbasi, bersentuhan yang diniatkan untuk meningkatkan libido pun dikategorikan sebagai aktivitas seksual.
Namun ketika tidak ada persetujuan dari salah satu pihak untuk melakukan aktivitas seksual tersebut, maka itu merupakan tindakan pemerkosaan karena adanya paksaan dan ketimpangan relasi kuasa untuk melakukan hubungan seks. Ketidaktahuan korban yang dilecehkan pun merupakan salah satu bentuk pemerkosaan karena korban diperdaya untuk memenuhi gairah seksual salah satu pihak.
Ketika ada salah satu pihak yang tidak memberikan izin pada pihak lain untuk melakukan hubungan seks, bagaimana bisa aktivitas tersebut dikatakan sebagai seks bebas? MIKIR!
Jadikan Pendidikan Seks Sebagai Kurikulum Formal
Pengetahuan adalah kunci. Di tengah super daruratnya kondisi Indonesia dalam memerangi kejahatan seksual dari para predator seks, pendidikan seks adalah salah satu cara agar anak-anak mampu melindungi diri mereka dari upaya pelecehan dan kekerasan seksual.
Oleh karena itu, menjadikan pendidikan seks sebagai kurikulum formal pendidikan adalah mendesak untuk segera dilakukan. Anak-anak harus diajarkan tentang bahaya ketika ada seseorang yang berusaha mengakses dan melakukan tindakan tertentu terhadap tubuh mereka (seperti menyentuh area selangkangan, meremas payudara, memukul pantat, hingga melepas pakaian dalam) tanpa izin. Harus diajarkan pula bagaimana anak membela diri jika ada pihak yang ingin melecehkan mereka secara seksual.
Hal-hal tersebut adalah esensi utama dari sebuah pendidikan seks. Tidak ada urusannya dengan sensualitas ketika seseorang mengalami trauma dan ketidaktahuan saat mereka sedang dilecehkan. Justru orang tua yang akan berdosa dan masuk neraka karena ketololan itu telah mencegah upaya pengetahuan kepada anak untuk melindungi dirinya dari pelecehan dan kekerasan seksual.
Saran kepada Kementerian Pendidikan, segera jadikan pendidikan seks sebagai kurikulum formal. Please don’t even consider idiots’ opinion to protect the future of generations from sexual predators and crimes.
[1] https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20211228113738-20-739496/kpai-207-anak-korban-pelecehan-seksual-di-sekolah-sepanjang-2021/amp [2] https://www.economica.id/2020/09/11/keterbukaan-pendidikan-seks-di-indonesia-hambatan-dan-implementasi/ [3] https://theconversation.com/akademisi-sarankan-cara-tepat-mengajarkan-pendidikan-seks-untuk-anak-di-indonesia-122627