Memasak dan Identitas Perempuan
Ketika mulai beranjak dewasa, orang-orang tua mulai mencibiri diri yang tidak bisa memasak, walau hanya makanan sederhana berupa telor ceplok. Kata-kata sinis kerap meluncur dari mereka.
"Perempuan macam apa kau jika tak bisa memasak?"
"Bagaimana nanti suamimu mau makan jika kau tak bisa memasak?"
"Setinggi apapun pendidikanmu, tak kan lengkap diri sebagai perempuan jika tak bisa memasak."
Amboi! Sesempit itulah perempuan didefinisikan dalam tatanan sosial masyarakat, dilihat dari bisa atau tidaknya dia memasak.
Maka sebagai bentuk perlawanan kecil terhadap sistem patriarki ini, kuputuskan aku tak mau belajar memasak. Komentar-komentar pedas tentang betapa tak bahagianya suamiku nanti karena tak bisa merasakan masakan istrinya, atau tentang malangnya nasib anak-anakku yang tak akan bisa mengerti tentang kelezatan masakan rumahan buatan tangan ibunya, semuanya aku acuhkan.
Untuk apa memasak kalau di luaran sana terdapat beragam tempat makan, mulai dari yang siap saji hingga fine dining? Tinggal tunjuk saja kalau ingin makan. Toh bisa delivery pula.
Saat sang kekasih (yang kini sudah resmi menjadi suami) melamar pun, kutegaskan pula jika aku tak bisa memasak. Jika dia menginginkan istri yang bisa memasak, kusarankan dia menikahi seorang koki. Tapi aku berjanji padanya akan menjadi pendamping yang setara dalam beragam hal, terutama soal dukung-mendukung dan menguatkan supaya bisa mencapai cita-cita bersama untuk menjadi orang besar.
Waktu berlalu, pernikahan kami aman tenteram tanpa aku harus memasak. Segala urusan dapur tersebut kuserahkan pada anak angkat nenekku yang kebetulan memang jago memasak. Jadi aku bisa fokus menempuh pendidikanku di dunia literasi dan akademi, sedangkan suami meraih ambisi karirnya di bidang hukum.
Singkat cerita, masalah tiba-tiba muncul ketika aku merasa jenuh dengan cita rasa dan jenis makanan yang itu-itu saja. Makanan kemudian berubah menjadi sekedar pemenuhan rasa lapar, namun tidak memberi suatu kepuasan tertentu. Duh, kau ini terlalu! Apa yang kau inginkan, Elle?
Tanpa sengaja pada suatu ketika aku menonton tayangan Master Chef di salah satu stasiun TV kabel. Tayangan itu sangat menyedot perhatianku, terutama ketika peragaan masak-memasak itu seperti menampilkan sebuah rangkaian penciptaan seni yang memukau dari hasil olahan bumbu-bumbu.
Lebih jauh lagi aku menelusuri, para chef terkemuka di dunia dengan gelar Michellin Star ternyata didominasi oleh laki-laki. Dan baru kuperhatikan ketika melangkah masuk ke restoran yang menyajikan pemandangan aktivitas dapur mereka, sepertinya hampir semua yang memasak adalah laki-laki pula.
Jadi, hari ini memasak bukan lagi diidentifikasi sebagai urusan domestik yang diidentikkan dengan perempuan, walau pemikiran jahiliyah tersebut masih tetap langgeng sampai hari ini. Setidaknya kuketahui ada ratusan ribu lelaki yang juga memasak. Bahkan aku pun menyadari jika papaku adalah seorang koki handal dengan masakan nasi gorengnya yang terenak di semesta raya ini.
Maka mulailah aku memasak dengan meniru resep-resep mudah yang kutonton dari acara Master Chef dan program jalan-jalan kuliner di National Geographic. Hei, ternyata memasak adalah bermain dengan bumbu-bumbu, sama seperti menulis yang bermain dengan kata-kata.

Di tengah Pandemi Covid-19 ini, aku pun semakin merasa memasak adalah sebuah kebutuhan untuk menjaga kesehatan pikiran selama berada di rumah saja. Aku pun kerap melihat story di akun Instagram teman-teman lelaki dan perempuan yang memperlihatkan aktivitas memasaknya di rumah masing-masing. Tak jarang aku pun meminta resep dari mereka dan memodifikasi dengan gayaku. Ternyata masakanku cukup bisa membuat jarum timbangan orang-orang di rumah bergerak secara konstan ke kanan, walau saat ini belum ada yang bertanya resep padaku. *LOL
Aku tak pernah mengira jika memasak bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan. Dulu aku tidak menyukai area dapur karena aku tidak ingin berakhir sebagai perempuan yang tidak bisa berkiprah di ranah publik. Kurasa anggapan itu akan tetap ada jika pertanyaan pertama yang ditanyakan para calon mertua pada calon istri anaknya adalah, "Kamu bisa masak?".
Tapi sekarang, kegiatan memasak menjadi suatu hal yang paling kunanti. Ada rasa gembira ketika mencium gelegak santan yang mendidih di kompor, atau ketika tangan berbau rempah saat melumuri ayam dan daging. Semacam kepuasan juga muncul ketika siapapun yang memakan masakanku berebut ingin menambah porsi lagi. Rasa puasnya sama dengan ketika tulisan dibaca banyak orang.
Aku suka memasak, walau tingkat kesukaan tersebut masih lebih rendah dibandingkan kecintaanku terhadap menulis. Yang terpenting, aku memasak bukan karena aku seorang perempuan. Aku memasak karena aku mencintai proses dari seni mengolah bumbu, dan merasa bahagia dengan rasa yang dapat kuhadirkan untuk banyak orang. Sama seperti ketika ternyata tulisanku mampu mempengaruhi pemikiran orang lain.
Love,
Elle Zahra