Jalan Terjal Upaya Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual
Enam tahun bergulir sejak upaya pertama penghapusan kekerasan seksual diinisiasi dalam bentuk rancangan undang-undang (RUU) negara oleh badan legislatif. Namun hingga hari ini, tarik-ulur perdebatan soal perlindungan dari kejahatan seksual masih tak terelakkan.
RUU terkait penghapusan kekerasan seksual masih terbengkalai. Sementara itu, korban kekerasan seksual terus bertambah tiap hari. Catatan dari Komnas Perempuan menyebutkan, setiap dua jam ada tiga perempuan yang mengalami kekerasan seksual.[1] Momentumnya terjadi pada 2021 silam saat sejumlah kasus kekerasan seksual menjadi viral di media sosial, dan hampir tiap bulan berita tentang kasus kejahatan seksual muncul silih berganti.
Penyebab perdebatan panjang yang tak kunjung mengesahkan UU menghapus kekerasan seksual adalah getolnya fraksi partai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk memasukkan unsur kesusilaan dalam rancangan UU. PKS menginginkan persoalan seks bebas dan perilaku seks menyimpang ikut diatur dalam pembahasan UU penghapusan kekerasan seksual.[2]
Ingin rasanya Penulis berteriak meratapi kenaifan para politisi ini, sebab mengaitkan kejahatan seksual dengan norma susila. Padahal perkara seks terkait dengan consent (persetujuan). Ketika salah satu pihak tidak setuju untuk terlibat dalam sebuah aktivitas seksual, namun pihak lain tetap memaksa melakukan aktivitas tersebut, maka di saat itulah timbul kejahatan seksual seperti pelecehan, pemerkosaan, dan pedofilia! Tidak ada kaitannya dengan seks bebas atau preferensi seksual. Bahkan pemerkosaan pun bisa terjadi di rumah (marital rape) yang mana suami-istri hanya bersenggama dengan pasangannya saja, dikawin paksa, atau ayah kandung yang memperkosa anak perempuannya (inses).
Hukum dan Ajaran Agama Seharusnya Terpisah
Ada perbedaan ideologi dan keyakinan ketika berbicara tentang persoalan seks. Sebagian anggota fraksi partai politik di DPR memandang bahwa seks juga merupakan bagian dari ajaran agama. Itu sebabnya unsur-unsur religi harus ikut diakomodir dalam RUU penghapusan kekerasan seksual.[3] Maka dari itu pula fraksi partai politik yang berbasis keagamaan seperti PKS ngotot untuk memasukkan masalah seks bebas dan preferensi seksual menyimpang yang notabene merupakan larangan dalam ajaran agama.
Jika ingin mambawa-bawa ajaran agama, tidak ada agama manapun yang memperbolehkan penganutnya untuk melakukan kejahatan seksual seperti memperkosa. Namun realitanya, kejahatan seksual semakin meningkat. Sebagian malah menggunakan landasan agama sebagai pemakluman untuk melakukan kekerasan seksual. Misalnya yang jamak terjadi adalah bolehnya suami memaksa bersetubuh dengan istri karena adanya hadis yang menyebutkan istri akan dilaknat oleh malaikat apabila tidak melayani suami berhubungan badan.[4]
Kejahatan seksual tidak sebaiknya dikaitkan dengan urusan moralitas dalam ajaran agama, sebab secara universal telah disepakati bahwa pemaksaan hubungan seksual merupakan tindakan kejahatan yang tidak menghormati hak asasi manusia. Tidak ada kaitannya dengan sering bergonta-ganti pasangan, atau preferensi seksual yang dianggap menyimpang.[5]
Fokus utama penyusunan RUU penghapusan kekerasan seksual harus menitikberatkan pada penindakan tegas atas pelanggaran hak asasi manusia dan upaya perlindungan serta pemulihan korban kekerasan dari trauma. Bukan mempersoalkan moral orang-orang!
Sex activities dan sexual preference sepenuhnya merupakan urusan privat, dan seharusnya tidak ada campur tangan negara mengatur kehidupan pribadi seks warganya.
Yang terpenting adalah bagaimana melindungi segenap rakyat Indonesia dari kejahatan seks yang tidak diinginkan seperti pelecehan, pemerkosaan, dan pedofilia. Untuk itu RUU ini harus memiliki esensi dalam mencegah kejahatan seks, pelayanan dalam pelaporan sex abuse, dan pemulihan trauma korban kejahatan seksual. Bukan malah mengurusi ruang pribadi warganya.
Jangan Mempolitisir Kejahatan Seksual
Enam tahun merupakan jalan panjang bagi sebuah RUU yang kerap direncanakan masuk prioritas legislasi, tapi tetap tak kunjung diselesaikan. Bukan karena kinerja wakil rakyat kita di Senayan tak dapat diandalkan. Buktinya mereka mampu mengesahkan UU Cipta Kerja dalam waktu kilat selama enam bulan[6] Baru-baru ini pun undang-undang tentang pengaturan ibu kota negara yang baru telah ketok palu pula. Artinya, anggota DPR bisa kok kerja cepat.
Tapi satu hal yang harus diingat. UU merupakan sebuah produk politik, karena dibuat oleh orang-orang yang merupakan perwakilan partai politik. Sebab itu proses pembentukan hingga lahirnya suatu UU selalu sarat dengan kepentingan politik.
Andaikata 2021 tidak muncul momentum di mana semua orang merasa marah dengan beragam kasus kekerasan seksual yang viral di media sosial, ditambah lagi mulai tahun ini partai politik mulai meluncurkan kampanye permanen untuk pilkada dan pemilu, pastinya kepastian RUU penghapusan kekerasan seksual akan tetap mangkrak tanpa nasib yang jelas.
Sudah sepatutnya RUU ini disahkan sedari dulu tanpa harus menunggu viralnya amukan netizen terhadap polisi yang mengabaikan kejahatan seksual inses di Luwu Timur. Demi mencari muka kepada konstituen, baru di tahun 2022 RUU ini diusulkan menjadi hak inisiatif DPR dan direncanakan untuk dibawa ke Rapat Paripurna.
Dan PKS tetap pada citranya sebagai partai religius yang sok bersetia pada kaidah moral, namun abai pada nilai-nilai universal yang seharusnya menjadi landasan untuk menghapus kejahatan seksual.
For God’s sake! Berhentilah kalian mempolitisir RUU ini dan segera sah kan! Sebab anak-anak, perempuan, serta kalangan lainnya membutuhkan kepastian dan rasa aman agar terhindar dari upaya pelecehan dan kekerasan seksual.
[1] https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2022/01/13/09173181/komnas-perempuan-sebut-setiap-2-jam-ada-3-perempuan-indonesia-jadi-korban [2] https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-59885009.amp [3] https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2020/08/13/09403501/indonesia-darurat-kekerasan-seksual-kenapa-ruu-pks-tak-kunjung-disahkan [4] https://www.hukumonline.com/klinik/a/pemerkosaan-dalam-rumah-tangga-menurut-hukum-positif-dan-hukum-islam-lt5eda1c5901b7b [5]Kecuali apabila perilaku seks menyimpang tersebut merugikan pihak lain, misalnya pedofilia. Contoh yang paling terkenal adalah penyimpangan aktivitas seksual yang dilakukan oleh penyanyi dangdut Saipul Jamil. [6] https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/tren/read/2020/10/05/210012965/rekam-jejak-pembahasan-omnibus-law-uu-cipta-kerja-hingga-disahkan